BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tidak berlebihan jika dikatakan, umat Islam tidak mungkin
dipisahkan dari sumber ajaran agamanya itu. Pada aspek mengkaji, al-Qur’an
adalah satu-satunya kitab suci yang mendapatkan perhatian luar biasa dari
komunias ilmuan, baik yang muslim maupun non muslim. Hal ini terbukti dengan
lahirnya karya-karya tafsir al-Qur’an yang jumlahnya ribuan. Karya tafsir
al-Qur’an masih terus mengalir hingga hari ini. Hal ini juga menjadi bukti
bahwa tafsir al-Qur’an bukan dominasi orang-orang shaleh zaman dulu, seperti yang
kita ketahui dalam sejarah penafsiran al-Qur’an.
Sejarah penafsiran al-Qur’an adalah Islam itu sendiri.
Artinya perjalanan sejarah tafsir al-Qur’an sudah sama tuanya dengan sejarah
perjalanan Islam sebagai agama, sehingga antara keduanya jadi identik dan tak
terpisahkan. Aktifitas penafsiran sudah barang tentu dimulai semenjak Nabi
Muhammad Saw. Menyampaikan risalah Tuhan yang datang dalam bentuk al-Qur’an. Sebagai
pembawa risalah maka Nabi Muhammad harus faham dan mengerti terlebih dahulu
atas pesan wahyu yang harus disampaikan kepada umatnya ketika sasaran wahyu
(umat) menghadapi kesulitan tertentu dalam memahami teks wahyu. Jadi, tugas
penasiran merupakan bagian integral dari tugas risalah.
Keragaman tafsir sekurang-kurangnya disebabkan oleh
faktor-faktor sebagai berikut: pertama, factor kebahasaan. Di dalam al-Qur’an
akan ditemukan kata-kata yang memiliki makna (lafadz) ganda, makna umum, makna
khusus, makna sulit (musykil) dan sebagainya. Kedua, factor ideology poitik,
ketiga, factor madzhab pemikiran dan yang keempat adalah subyektifisme mufasir,
yakni adanya pra-anggapan, pra-asumsi, jenis kelamin, latar pendidikan dan
lingkungan mufasir yang turut mewarnai langgam tafsir yang disusun.
Terhadap keempat faktor di atas, tak ada seorngpun yang
mengingkarinya. Oleh karena itu, paparan di atas makin menegaskan bahwa tafsir
merupakan dialog terus-menerus antara teks suci, penafsiran dan lingkugan
sosial-politik-budaya yang ada di sekitarnya. Tafsir ini tercipta pada ruang
dan waktu yang berbeda-beda yang mengakibatkan munculnya pemaknaan atas satu
teks berbeda dengan yang lainnya. Makalah ini menyajikan sebuah penafsiran yang
mengulas tentang lafadz “fitnah” dalam al-Qur’an. Fitnah mempunyai
bermacam-macam makna yang berbeda, sehingga pembahasan ini dirasa perlu untuk
mengetahui derivasi makna fitnah yang digunakan dalam al-Qur’an. Dalam
pembahasan ini lebih banyak mengambil penafsiran al-Razi, karena dirasa telah
memberikan penafsiran yang mumpuni dan dapat dijadikan sebagai pijakan dalam
memahami suatu lafadz dalam al-Qur’an. Meskipun dalam makalah ini hanya
mengulas satu tafsir lafadz fitnah, namun setidaknya lewat kajian ini akan
merangsang pembaca untuk mencermati dan mengkaji tafsir-tafsir lafadz lain yang
beragam jenisnya.
A.
RumusanMasalah
1.
Apa yang dimaksud dengan fitnah itu
?
2.
Pendapat para ulama tentang Fitnah ?
3.
Fitnah pertama ?
4.
Apa saja contoh dan dampak negative
fitnah?
5.
Apa saja macam-macam dari fitnah?
6.
Apa penyebab dari timbulnya fitnah?
7.
Bagaimana upaya mencegah perbuatan
fitnah?
8.
Bagaimana tinjauan masa kini tentang
Fitnah ?
B.
Tujuan
1.
Menjelaskan pengertian tentang
fitnah.
2.
Mengetahui pendapat para ulama
tentang Fitnah.
3.
Mengetahui Fitnah pertama yang
terjadi.
4.
Menjelaskan contoh dan dampak
negative fitnah.
5.
Menjelaskan macam-macam dari fitnah.
6.
Menjelaskan penyebab timbulnya
fitnah.
7.
Menjelaskan upaya mencegah perbuatan
fitnah.
8.
Mengetahui tinjauan masa kini
tentang Fitnah.
BAB II
PENJELASAN YANG BERSIFAT UMUM
1.
Dalil
Tentang Fitnah
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ
مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا
يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ
اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Mereka bertanya
kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang
dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya
dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah.[1]
Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak
henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari
agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad
di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah 217)
إِنَّ
الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ
بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ
وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيم
“Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah
baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. ” (Q.S. An-Nur 24:11)
2.
Pendapat
Para Ulama tentang Fitnah
Makna satu
kata, Fitnah
Seringkali para
juru dakwah menyebut-nyebut kata fitnah, dalam berbagai bahasan. Seringkali
pula mereka beranggapan bahwa masyarakat Indonesia sudah begitu akrab dengan
kata tersebut, sehingga mereka pasti paham. Padahal sesungguhnya tidaklah
demikian. Berbagai realitas -termasuk yang saya dengar-, menunjukkan bahwa ada
kesalahpahaman besar seputar pemaknaan kata tersebut, di tengah masyarakat
kita, saat kata itu disebutkan oleh seorang juru dakwah. Pasalnya, kata
tersebut berbeda makna dalam bahasa kita, Indonesia, dibandingkan makna kata
itu di dalam bahasa Arab. Sementara kerap disampaikan para juru dakwah adalah
makna kata itu dalam bahasa Arab.
Dalam bahasa
Indonesia, kata fitnah, seperti disebutkan dalam banyak kamus bahasa Indonesia
adalah: menuduh tanpa bukti. Dalam bahasa Arab, kata itu berarti buhtaan.
Seperti disebutkan dalam hadits tentnag ghibah, yang kesohor itu.
Sehingga,
ketika seorang juru dakwah mengatakan, “seorang pria muslim tidak boleh
berduaan dengan seorang wanita muslimah yang bukan muhrimnya, karena
dikhawatirkan terjadi fitnah….” kebanyakan masyarakat Indonesia akan
memahaminya.’…..khawatir mereka berdua akan difitnah. Yakni, dituduh berbuat
mesum dan sejenisnya.’ Padahal yang dimaksud juru dakwah tersebut,’….khawatir
akan terjadi bencana. Yakni bencana maksiat, mulai dari yang paling ringan,
hingga perzinaan.’[2]
BAB
III
ISI
1. Pengertian
Fitnah dalam
bahasa Arab disebut الفتنة, Menurut Kamus Besar
bahasa Indonesia, kata Fitnah diartikan sebagai perkataan yang bermaksud
menjelekkan orang. Fitnah yaitu komunikasi dengan satu orang atau lebih yang
bertujuan untuk memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan
berdasarkan fakta palsu yang dapat mempengaruhi penghormatan, wibawa atau
reputasi. Fitnah juga diartikan sebagai Kekufuran seperti yang dijelaskan dalam
surat Al-Baqoroh:217, dan Kesesatan seperti yang dijelaskan dalam surat
Al-Maidah: 41.
Maksud Fitnah
Kata
"fitnah" asalnya diserap daripada bahasa Arab, dan pengertian asalnya
adalah "cobaan" atau "ujian". Maksud dan pengertian fitnah
jika diselak lebar al-Quran dan hadis adalah sebagaimana berikut.
A. Kufur/Kafir
Friman Allah
Subhanahu Wata’ala yang bermkasud:
“Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang
dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir
penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah . Dan berbuat
fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh…” (Al Baqarah: 217)
Firman-Nya lagi
yang bermaksud:
“Dan perangilah
mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim” (Al Baqarah:
193)
Kata fitnah
dalam ayat ini menurut para ulama tafsir adalah bermaksud ‘kekafiran’ atau
‘kemusyrikan’. Iaitu bahawa mereka itu menyebarkan kekafiran.[3]
B. Bencana
Sabda nabi
Sallallhu alaihi Wasallam yang bermaksud:
“Apabila datang
(meminang) kepada kamu seorang pemuda yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka
kahwinkanlah dia dengan anak perempuan mu. Dikhuatiri akan terjadi fitnah
(bencana) dan kerosakan yang besar di muka bumi.”
Perkataan
fitnah dalah hadis ini memberikan maksud bencana atau musibah yang akan berlaku
sekiranya perkahwinan ditangguhkan. Ini kerana syarat pemuda soleh itu adalah
sebaik-baik pilihan untuk dijadikan suami kepada anak-anak perempuan.
C. Konflik
Firman Allah
Subhanahu Wata’ala yang bermaksud:
“Dia-lah
yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mu-tasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah…” (Ali Imran: 7)
Terdapat
sebagian orang Islam yang hanya menggunakan semata-mata penilaian mengikut
aspek rasional. Sengaja mencari penafsiran ayat melalui pendekatan logika akal
manusia yang terbatas semata-mata, sehingga melencong dari tafsiran yang tepat.
Tujuan mereka semata-mata menyebar fitnah, iaitu mencari konflik dan
perselisihan dengan sesama muslim.
Inilah
penjelasan kepada ayat ini yang dengan jelas menyebut perkatan fitnah. Ia
bermaksud menimbulkan konflik dan kekeliruan dalam masyarakat. Ia juga disebut
sebagai propaganda.
D. Tipu
Firman Allah
Subhanahu Wata’ala yang bermaksud :
“Kemudian
tiadalah fitnah mereka, kecuali mengatakan: “Demi Allah, Tuhan kami,
tiadalah kami mempersekutukan Allah” (Al An’am: 23)
Fitnah yang
dimaksud dalam ayat ini adalah ucapan tipu dan dusta, untuk membela diri mereka
di hadapan Allah. Padahal Allah mengetahui hakikat mereka, dan apa yang
tersembunyi dalam hati mereka.
E. Binasa
Firman Allah
Subhanahu Wata’ala: yang bermaksud:
“Di antara
mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi
berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.”
Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah . Dan sesungguhnya
Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir” (At Taubah:
49)
Dalam ayat ini
kaum munafik di masa Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam enggan menyertai
peperangangan kerana menganggap itu adalah suatu kebinasaan (fitnah). Padahal
sesungguhnya mereka telah berada dalam kebinasaan dengan sifat munafik. Iaitu
kebinasaan diri mereka di akhirat kelak dengan balasan neraka yang paling
bawah.
F. Gangguan
Firman Allah
Subhanahu Wata’ala: yang bermaksud:
“Dan
di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka
apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah
(gangguan) manusia itu sebagai azab Allah . Dan sungguh jika datang pertolongan
dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguhnya kami adalah bersamamu”.
Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?” (Al Ankabut: 10)
Dalam ayat ini,
kata fitnah membawa maksud ganguan. Inilah sifat biasa manusia yang menganggap
ujian Allah dalam bentuk gangguan manusia sebagai azab.
2. Sifat dan Karakteristik
Inilah gambaran
orang yang suka memfitnah (mengadu domba) :Pengecut dan curang. Orang yang suka
memfitnah tidak mampu bersaing secara sehat.
a.
Pendusta.
Dusta/bohong menjadi menu utama dalam aksinya untuk memfitnah dan mengadu domba
orang lain.
b.
Hidup
dan kehidupannya dihantui oleh prasangka buruk.
c.
Suka
memata-matai dan mencari-cari kesalahan orang lain. Dia asyik sekali membongkar
rahasia, keburukan dan kebusukan seseorang, ketika orang itu tidak ada. Dan
ketika orang itu datang, maka pembicaraan pun berhenti dengan sendirinya,
kemudian berganti dengan memuji dan menyanjung. Ini adalah perbuatan hina dan
jijik.
d.
Iri,
dengki dan sombong selalu menempel di hatinya, bahkan menjadi darah daging.
Ketika dia merasa gagal, iri dan dengki yang muncul. Namun, ketika memperoleh
kesuksesan, dia sombong dan hidup melampaui batas.
e.
Hubbuddunya
(lebih cinta kepada gemerlap duniawi daripada cinta kepada Allah)
f.
Aqidahnya
telah rusak, karena lebih takut kepada manusia daripada takut kepada Allah. Dia
rela memfitnah dan mengadu domba orang lain agar posisi dan jabatannya aman.
Yang terpenting baginya adalah uang dan jabatan. Dengan kata lain, orang yang
suka mengadu domba adalah penjilat bermuka dua.
g.
Kufur
ni'mat. Orang yang suka memfitnah adalah orang yang tidak bersyukur atas ni'mat
Allah. Karena akal, hati dan raganya digunakan untuk merugikan orang lain.
h.
Menghalalkan
segala cara untuk kepentingan pribadi. Hatinya terdorong untuk mengeruk
keuntungan dengan jalan pintas. Bahkan tega mengorbankan sahabat dan kelompok
seperjuangan.
i.
Orang
yang suka memfitnah dan mengadu domba berpotensi menjadi pengkhianat.
3. Menghindari Akhlak Tercela (Fitnah)
Untuk
menghindari fitnah ada beberapa tips yang perlu diperhatikan.
1) Jangan reaktif, jangan merespon dengan
cepat berita-berita yang masih berkategori “katanya...”. Reaktif tidak
diperlukan dan tidak akan menyelesaikan masalah. Karena sikap reaktif cenderung
lebih tergesa-gesa. Ada ungkapan al khabar kal ghabar (berita itu seperti debu)
melayang ke mana-mana dan tidak bertuan.
2) Pastikan bahwa berita itu ada pembawanya.
Sumber berita adalah penentu kebenaran berita itu sendiri, terkadang berita
dari satu tempat ke tempat lain sudah tidak akurat dan banyak dibumbuhi atau di
sisipi berita lain.
3) Tabayyun. Perjelas lagi berita itu kepada
sumber aslinya. Inilah yang di ingatkan oleh QS: al Hujurat:6
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ
تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ.
"Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu."
4) Jika memang apa yang diberitakan itu
benar terjadi tetapi tidak kita inginkan selesaikan dengan cara dewasa dan
penuh kesadaran serta kasih sayang antar sesama.
Apa yang dapat
kita lakukan sebagai upaya membentengi hati dari fitnah (adu domba) dan
memeranginya :
1) Mulailah segala aktivitas dengan niat yang benar, yang baik dan
tulus hanya untuk mendapatkan ridho Allah.
2) Mintalah ridho dan restu
orangtua, mintalah kepada orangtua untuk mendoakan agar kita selamat.
3) Berpikir positif
(husnuzhon). Jangan memandang / menilai seseorang dari sisi negatifnya. saja.
4) Perbanyaklah mengingat
Allah (zikrullah), karena zikir kepada Allah dapat melembutkan hati dan
menyehatkan akal.
5) Hati-hati dalam
berbicara, bertindak dan dalam menerima informasi/berita. Gunakan akal sehat
dan hati yang sholeh untuk menganalisa dan menemukan kebenaran dari setiap
informasi/berita. Jangan lupa untuk memohon petunjuk dari Allah dengan sholat
istikhoroh.
6) Hati-hati terhadap
kesenangan dunia, jabatan dan kedudukan.
7) Hati-hati dalam mengemban amanah. Laksanakan amanah dengan mengedepankan
kejujuran dan penuh tanggungjawab.
8) Jika cinta Islam, maka
ikuti aturan Islam. Perdalamlah ilmu agama dengan rajin mengikuti majelis ilmu
atau pengajian dan mengamalkan ajaran Islam dalam hidup dan kehidupan
sehari-hari.
9) Amar Ma'ruf Nahi Mungkar.
Jangan pernah membenci manusia, karena benci kepada ciptaan Allah berarti benci
kepada Allah. Bencilah kepada perilakunya yang negatif. Selalu mengajak
sahabat-sahabat kita untuk berbuat baik dan mengingatkannya jika berbuat
kemunkaran dan maksiat.
10) Senantiasa bersyukur
kepada Allah. Rajinlah bershodaqoh kepada fakir miskin dan anak yatim, sebagai
perwujudan rasa syukur kita kepada Allah.
4. Nilai Negatif dari Fitnah
Keutuhan
masyarakat tercipta apabila anggota-anggotaynya saling mempercayai dan
kasih-mengasihi. Ini mengharuskan masing-masing anggota mengenal yang lain
sebagai manusia yang baik, bahkan menganggapnya tidak memiliki keburukan.
Dengan menggunjing, keburukan orang lain ditonjlkan, rasa percaya dari kasih
itu sirna. Ketika itu benih perpecahan tertanam. Menggunjing apalagi memfitnah
seseorang , berarti merusak keutuhan masyarakat satu demi satu, sehingga pada
akhirnya meruntuhkan bangunan masyarakat.
Orang yang
memfitnah dan menggunjing berarti menunjukkan kelemahan dan kemiskinannya
sendiri. Seandainya kuat dalam argumentasi, tentu tidak perlu mengada-ada.
Apabila tidak miskin dalam pengetahuan, mestinya tidak perlu menjadikan
keburukan orang seagai bahan pembicaraan, masih banyak bahan pembicaraan yang
lain.
Suatu ketika
Nabi Isa as., bersama murid-muridnya menemukan bangkai binatang yang telah
membusuk. Para murid beliau berkata,”Alangkah busuk bau bangkai ini.” Mendengar
hal itu, Nabi isa as., mengarahkan mereka sambil berkata, “Lihatlah betapa
putih giginya.” Dari kisah di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang harus
melihat isi positif pada suatu yang negatif dan berusaha menemukan kebaikan
dalam suatu yang terliht buruk.
Selain itu,
apabila yang kita tuduhkan itu salah dan tidak terbukti, maka kita akan menjadi
orang yang dibenci masyarakat, sungguh merugikan. Naudzubillah.
3. FITNAH PERTAMA
Sebelum wafat, Khalifah Abu Bakar[4]
telah menunjuk Umar sebagai penggantinya. Setelah mendapat persetujuan dari
para sahabat senior maka dia resmi terpilih sebagai pengganti Abu Bakar[5].
Dalam pidato pengangkatannya Umar menegaskan tekadnya untuk memerintah dengan
bersih, jujur, adil dan tidak akan melakukan nepotisme di masa pemerintahnya.
Ada satu hal yang penting dalam pidatonya bahwa meskipun dia memerintah setelah
mendapat penunjukkan oleh Abu Bakar namun dia tidak akan melakukan hal yang
sama. Dia akan menyerahkan pemilihan kepada majelis pemilihan yang lebih bebas.
Dia juga minta ditegur apabila melanggar janji[6].
Kebijakan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang digagas sejak
masa Abu Bakar telah berhasil dilaksanakan dengan gemilang oleh Umar. Dalam
masa pemerintahannya, dibawah pimpinan Khalid bin Walid pasukan Islam telah
berhasil menguasai daerah Irak, Syiria, Mesir hingga Afrika Utara[7].
Dengan berbagai penaklukan itu maka diperlukan suatu sistem pemerintahan negara
yang akan mengatur wilayah yang begitu luasnya tersebut. Tugas itu dijalankan
dengan baik namun Umar mengalami kematian yang tragis ditengah masa kejayaan,
dia wafat ditusuk seorang budak Persia yang telah memendam dendam padanya.
Setelah wafatnya Umar maka para sahabat yang telah ditunjuk
berunding untuk menentukan penggantinya, seperti janjinya pada saat
pengangkatannya dahulu. Umar tidak menunjuk seseorangpun sebagai penggantinya
namun menyerahkan pada Panitia Pemilihan Khalifah. Majelis pemilihan yang
diketuai oleh Abdurahman bin Awf itu akhirnya memilih Usman bin Afan[8]
sebagai Khalifah ketiga. Beliau diangkat menjuadi Khalifah ketiga pada usia 70
tahun.
Disamping prestasi gemilangnya yaitu perluasan wilayah Islam hingga
pulau-pulau di Laut Tengah bahkan Persepolis (Ibukota Persia) dan yang jauh
lebih penting adalah pengkodifikasikan al Qur'an[9],
masa kepemimpinan Usman juga memiliki beberapa kekurangan yang mencolok.
Tuduhan deras yang sering dialamatkan padanya adalah nepotisme dengan
pengangkatan pejabat-pejabat dari keluarganya sendiri yaitu Bani Umayyah.
Ketidakpuasan lain berasal dari kebijakan penggunaan satu qiroat sebagai qiroat
standar yang mengecewakan beberapa penghafal Qur’an sebagai kepala otoritas
keagamaan saat itu.
Masalah-masalah tersebut diduga mengakibatkan beberapa ketidak
puasan di kalangan umat yang dipimpinnya. Perpecahan dalam umat Islam sesudah
nabi Muhammad saw membangun suatu umat yang satu timbul diduga diawali pada
masa kepemimpinan Usman. Oposisi terhadap kepemimpinannya akhirnya memuncak
dengan terbunuhnya beliau saat sedang membaca Qur’an di mihrab masjid.
Peristiwa ini kemudian kerap disebut sebagai fitnah pertama[10].
Tulisan ini akan mencoba memberikan analisa tentang peristiwa
terbunuhnya Usman tersebut dengan memperhatikan sudut pandang dari kedua
golongan tersebut untuk mencapai suatu obyektivitas pandangan. Tulisan ini akan
membatasi analisisnya pada latar belakang pembunuhan Usman ditinjau dari aspek
sosio-politik terutama pada masa ketika umat Islam dipimpin oleh Usman hingga
wafatnya dia.
Kendala terbesar bagi penulisan sejarah pada umumnya adalah
terletak pada sudut pandangan sang periwayat sejarah dan situasi masa dimana
sejarah tersebut dituliskan. Hal yang patut disayangkna pada sejarah yang
tertulis mengenai peristiwa ini memiliki berbagai versi berdasarkan kepentingan
masing-masing penulis sejarah. Perbedaan yang tajam dari penulisan tentang
peristiwa ini terletak pada posisi sang penulis. Para penulis yang berasal dari
kalangan Sunni dan Syiah masing-masing mempunyai perspektif yang berbeda
mengenai peristiwa ini[11].
Riwayat
Singkat dan Kepribadian Usman
Uman lahir tujuh tahun sesudah nabi Muhammad saw dan berasal dari
Bani Umayyad cabang suku Quraysh[12].
Dia belajar baca tulis waktu muda dan
kemudian berhasil menjadi pedagang yang sukses[13].
Dia termasuk generasi awal yang masuk ke dalam Islam melalui Abu Bakar. Usman
termasuk yang berhijrah ke Ethiopia dan kemudian menyertai hijrah nabi saw ke
Madinah[14].
Usman diberi julukan Dzun Nurain (Pemilik Dua Cahaya) karena menjadi
menantu nabi dua kali yaitu yang pertama dengan Ruqayyah dan setelah sang istri
meninggal karena sakit[15]
dia dinikahkan lagi dengan salah seoran putri nabi saw yang lain yaitu Umm
Kulthum[16].
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Khabbab[17]
dia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw memerintahkan pasukan Islam yang
berada dalam keadaan kesulitan (jaysyul 'usrah). Saat itu Usman berkata,
“Wahai Rasulullah saw saya akan menanggung seratus ekor unta lengkap dengan
alas pelana dan pelananya untuk berjuang di jalan Allah.”
Kemudian Rasulullah saw menyeru kaum muslim untuk berangkat dan
berperang. Usman kembali berkata, “Saya tanggung dua ratus untuk lengkap dengan
pelananya untuk berjuang di jalan Allah.”
Untuk yang ketiga kalinya Rasulullah saw juga menyerukan kaum
muslimin untuk berangkat jihad di jalan Allah. Kembali Usman berkata, “Saya
tanggung tiga ratus unta dengan sarananya yang lengkap untuk jihad di jalan
Allah ini.”
Rasulullah saw kemudian turun dan dia bersabda,
“Tidak ada pekerjaan Usman yang membahayakan dirinya dua kali
setelah hari ini.”
Dalam riwayat lain, Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Abdur
Rahman as Sulami bahwa tatkala Usman ibn Affan dikepung, dia melihat kepada
orang-orang yang mengepungnya seraya berkata, “Semoga Allah menyejahterakan
kalian. Saya tidak mengatakan ini kecuali kepada sahabat-sahabat Rasulullah
saw. Tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Barangsiapa
yang mempersiapkan persediaan perang bagi tentara yang berada dalam kesulitan (jaisy
al usrah), maka dia akan memperoleh surga.” Lalu saya memersiapkannya.
Bukankah kalian juga tahu bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang
menggali sumur Rumat maka dia akan masuk surga?”. Lalu saya menggali sumur itu!” Orang-orang
yang mengepungnya membenarkan apa yang dia katakan[18].
Secara umum terjadi kesepakatan bahwa Usman adalah sosok yang tidak arogan,
jujur, lembut, baik hati, dan orang yang mempunyai akhlak mulia dengan
kesederhanaan dan kesalehannya[19].
Pemilihan
Usman Sebagai Khalifah
Sebelum wafatnya, Umar yang telah menunjuk orang-orang yang akan membentuk
komisi yang nantinya akan memilih khalifah penggantinya. Kemudian setelah
wafatnya Umar para anggota komisi tersebut berdiskusi mengenai masalah
tersebut. Ada beberapa perspektif berkaitan dengan kejadian ini namun sebagai
awal akan kami kutipkan jalannya pemilihan tersebut dalam versi yang lebih
condong ke arah Sunni dari tulisan Hamka (1975)[20].
Setelah tiga hari bermusyawarah namun menemui jalan buntu maka berkatalah Abdur
Rahman berkata:
“Siapakah yang sudi menarik diri dan menyerahkan pekerjaan ini
kepada yang lebih ahli?”
Tidak ada yang menjawab kemudian dia berkata lagi:
“Kalau demikian, disini
saya nyatakan terus terang bahwa saya sendiri tidaklah suka dicalonkan untuk
pekerjaan ini!”.
Usman menjawab:
“Sayalah yang mula-mula ridha memangkunya!”
Peserta lainnya juga menyatakan keridhaan mereka untuk memangku
jabatan tersebut, kecuali Ali yang hanya diam saja.
Melihatnya diam, Abdur Rahman bertanya kepadanya:
“Apakah pendapatmua wahai Abul Hasan (Ali)?”
Ali menjawab:
“Berilah saya janji yang teguh bahwa kamu semuanya lebih
mementingkan kebenaran dan bukan mengikut hawa nafsu, bukan pula mementingkan
orang karena kerabat, dan jangan dipermain-mainkan umat yang banyak!”.Abdur
Rahman kemudian memenuhi permintaannya dengan berjanji dan semua peserta musyawarah
tersebut juga mengikutinya dalam berjanji.
Abdur Rahman juga berjanji akan memilih orang yang paling sesuai
untuk posisi tersebut dan menyuruh mereka semua pulang ke rumah masing-masing.
Kemudian yang dilakukan oleh Abdur Rahman adalah melakukan survey diam-diam
kepada masyarakat tentang siapa yang paling dipilih rakyat untuk menjadi
khalifah. Dalam penelitiannya dia mendapati bahwa mayoritas suara jatuh kepada
Usman. Kemudian dia bertemu dengan Zubair ibn Awwam dan Sa'd ib Abil Waqaash.
Dia berkata kepada Zubair:
“Biarkanlah keturunan Abdi Manaf (Usman) yang memegang pekerjaan
ini!”.
Zubair menjawab dengan mengatakan bahwa suaranya akan diberikan
kepada Ali.
Abdur Rahman berkata kepada Sa'd agar hak suaranya diberikan
kepadanya sehingga apa yang menjadi pilihan Abdur Rahman akan menjadi pilihan
Sa'd.
Sa'd menjawab permintaan itu:
“Kalau yang akan dipilih itu engkau sendiri saya suka, tetapi
kalau Usman yang akan engkau pilih saya tak mau sebab Ali lebih
kusukai......Hai Abdur Rahman, lebih baik engkau pilih saja dirimu sendiri,
supaya kami semuanya jangan jatuh kepada perselisihan yang tidak kunjung putus,
dan angkatlah kepala kami[21].”
Abdur Rahman menjawab dengan perkataan sebagai berikut:
“Wahai Abu Ishak (Sa'd), bukan saya tak mau menjabat pekerjaan
ini, tetapi makanya saya mengundurkan diri dan tak suka mencalonkan diri ialah
supaya lebih adil memilih yang lain. Kalau saya turut mencalonkan diri tentu
pilihan saya tiada adil, artinya tidak ada yang tegak diluar, di dalam perkara
yang sulit ini. Ketahuilah olehmu Abu Ishak, bahwa bilamana Abu Bakar dan Umar
telah mati tiada lagi orang yang akan menggantikannya yang akan sunyi dari pada
kebencian manusia, akan ada-ada saja cacatnya pada mereka”.
Kemudian mereka berdua pergi kemudian dia memanggil Ali dan Usman
secara bergantian dan bercakap-cakap dengan keduanya dalam waktu yang lama
sehingga mereka berdua masing-masing merasa bahwa merekalah yang akan dipilih
sebagai khalifah.
Tiba waktunya shalat Subuh dan Abdur Rahman mengumpulkan
orang-orang di masjid untuk menyampaikan pengumuman tentang pemilihan khalifah.
Dia berkata:
“Saya telah menilik dengan seksama, saya telah musyawarah dengan
yang patut-patut, maka oleh sebab itu dengan terus terang saya katakan kepadamu
wahai golongan yang terpilih dari kaum Quraisy, janganlah kamu mengharap bahwa
pekerjaan ini akan terserah ketanganmu”.
Dipanggilnya Ali dan kemudian dia berkata kepadanya:
“Hendaklah engkau memegang teguh janji Allah, hendaklah engkau
ketahui benar-benar akan kitab Allah dan sunnah Rasulnya dan perjalanan kedua
khalifah yang menggantikannya”.
Jawab Ali:
“Saya akan berusaha sehabis dayaku dan sebisa ilmuku”.
Kemudian dipanggilnya Usman dan diberinya pernyataan yang serupa
dan Usman menjawab dengan tegas:
“Baiklah!”
Setelah mendengar jawaban Usman tersebut Abdur Rahman memegang
tangan dan berbaiat kepadanya dan mengumumkan bahwa dia telah menetapkan Usman
sebagai khalifah. Ali merespon kejadian tersebut dengan perkataan:
“Telah engkau jauhkan jabatan itu dari padaku sejauh kiamat,
bukankah hari ini saja yang mula-mula kamu bersikap begini kepada saya, maka
baiknya saya sabar, moga-moga Allah menolong saya atas perbuatanmu itu, Abdur
Rahman! Tidaklah engkau mengangkat Usman supaya pekerjaan ini jatuh pula
ketangan engkau nanti.......memang tiap-tiap hari lain saja yang terjadi!”
Abdur Rahman menjawab:
“Hai Ali janganlah engkau jadikan pekerjaan ini untukmu karena
telah saya tilik dan saya selidiki orang banyak, maka tidak ada seorang juga
yang suka menukar Usman dengan yang lain”.
Kemudian Ali keluar dengan muka masam. Sesudahnya orang-orang
membaiat Usman menjadi khalifah yang ketiga. Ali juga berbalik dan akhirnya
turut pula di dalamnya. Thalhah yang baru pulang dari bepergian segera membaiat
Usman juga ketika mendengar bahwa hal itu adalah kehendak mayoritas umat.
Dalam sudut pandang lain dikemukakan oleh kaum Syi'ah akan didapat
cerita yang berbeda[22].
Sesudah melakukan survey dan mengerucut menjadi dua nama Ali dan Usman maka
Abdur Rahman bertemu dengan Amr b Ash tentang kekhawatirannya tentang
kemungkinan terpilihnya Ali kemudian dia diberitahukan oleh Amr b Ash yang
lebih berpengalaman di bidang politik tentang sebuah “tipu daya” yang akan
menggagalkan terpilihnya Ali. Abdur Rahman merasa senang dengan gagasan Amr dan
setuju untuk melaksanakannya.
Serupa dengan kisah versi Sunni maka dalam versi Syi'ah didapatkan
bahwa ketika umat berkumpul di masjid maka Abdur Rahman menyuruh Ali maju dan
mengajukan pertanyaan:
“Jika kamu diberi kekuasaan terhadap umat Islam dan menempatkanmu
sebagai otoritas dalam segala urusannya maukah kamu berjanji untuk memerintah
sesuai dengan al Qur'an, Sunnah Rasul dan mengikuti preseden dari kedua
pendahulumu Abu Bakar dan Umar[23]?
Ali menjawab:
“Saya akan bertindak menurut al Qur'an dan Sunnah Rasul sedangkan
preseden Abu Bakar dan Umar aku mempunyai pendapat tersendiri dan akan
menggunakan keputusanku sendiri.”
Abdur Rahman kemudian beralih kepada Usman dan terjadilah
pembaiatan Usman.
Masa
Pemerintahan dan Terbunuhnya Usman
Pada masa pemerintahan Usman kekuasaan semakin meluas ke arah
barat hingga Maroko, ke arah timur sampai Afghanistan dan ke arah utara hingga
ke Armenia dan Azerbaijan. Selama pemerintahannya dibentuklah Angkatan Laut[24],
dilakukan pembenahan administrasi negara dan banyak sarana publik yang dibangun
dan dikembangkan.[25]
Usman juga dikenal sebagai pembentuk komite penyusun al Qur'an
yang dipimpin oleh Zayd b Thabit guna menyatukan bacaan al Qur'an sehingga
menghindari perpecahan akibat perbedaan pembacaan dan perpecahan keagamaan.
Setelah tersusun satu mushaf yang kerap disebut sebagai mushaf Usmani maka
jenis bacaan al Qur'an lain dihancurkan sehingga hanya ada satu bacaan al
Qur'an yang diakui dan diperbanyak untuk disebarluaskan ke seluruh wilayah
Islam[26].
Setelah dua belas tahun pemerintahannya, beliau harus meninggal
ditikam oleh mereka yang tidak puas dengan kepemimpinannya dan datang mengepung
rumahnya. Semula rombongan dari Mesir datang hendak menyampaikan aspirasi
mereka dan mereka hendak meminta gubernur Mesir digantikan oleh Muhammad bin
Abu Bakar. Setelah diterima mereka pulang namun tak jauh dari Madinah ketika
mereka sedang beristirahat melintaslah dihadapan mereka seorang kurir yang
melaju kencang. Setelah dihentikan dan ditanyai ternyata kurir tersebut membawa
surat perintah yang bersegel Usman agar membunuh rombongan tersebut yang sedang
pulang ke Mesir. Dengan kemarahan rombongan tersebut kembali ke Madinah dan
mengepung rumah Usman, yang bersumpah bahwa bukan dia yang menulis surat
tersebut walaupun memang menggunakan segel resminya, hingga akhirnya
mengakibatkan terbununya Usman yang menjadi fitnah pertama bagi umat Islam
karena sesudahnya diikuti perang saudara yang mengakibatkan perpecahan di
kalangan umat Islam[27].
As Suyuthi mengisahkan bahwa ketika ditanyai mengenai surat
tersebut Usman bersumpah bahwa bukan dia yang menulis meskipun dia mngakui
bahwa itu adalah segel resminya. Para penanya tersebut mengenali bahwa tulisan
tersebut adalah milik Marwan b Hakam yang kemudian mereka meminta Usman
menyerahkannya namun ditolak oleh Usman karena dia takut Marwan akan dibunuh
oleh mereka. Karena marah mereka mengepung rumah Usman meskipun para sahabat
seperi Ali memerintahkan anak-anak mereka untuk berjaga disekitar rumah Usman
guna menghidari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Namun kemudian
Muhammad b Abu Bakar dan dua orang berhasil memanjat melalui rumah tetangga
Usman dan masuk ke dalam. Dia sempat memegang janggut Usman yang kemudian Usman
berkata:
“Kalau ayahmu melihat apa yang kamu lakukan kepadaku niscaya dia
akan sangat tidak senang dengan sikap yang kamu lakukan itu kepadaku.”
Kemudian Muhammad b Abu Bakar melepaskannya namun kedua temannya
berhasil masuk dan akhirnya memukul Usman hingga tewas dan kemudian mereka
keluar dengan cara yang sama dengan cara mereka masuk. Istri Usman yang melihat
peristiwa itu berteriak-teriak keluar bahwa Usman telah terbunuh. Ali yang
kemudian datang dikisahkan memukul kedua anaknya karena keteledoran mereka
sehingga para pembunuh itu bisa masuk ke dalam rumah Usman[28].
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Mughirah b Syu'bah bahwa ketika
Usman dikepung dia datang menemuinya di dalam rumah dan berkata: “Sesungguhnya
engkau adalah pemimpin kaum muslimin sedangkan engkau melihat apa yang kini
terjadi kepada dirimu. Saya mengajukan padamu tiga solusi. Pertama, kau keluar
menemui mereka dan kau perangi mereka karena engkau memiliki banyak pengikut
dan kau mempunyai kekuatan. Engkau benar sedangkan mereka berada di jalan yang
salah. Atau kedua, akan kami bukakan bagimu satu pintu yang lain, bukan tempat
mereka kini berada kemudian kamu naik kendaraan ke Makkah atau ketiga kamu
pergi ke Syam karena mereka adalah orang-orang Syam dan disana ada Muawiyyah.”
Usman menjawab:
“Adapun jika saya keluar dan memerangi mereka maka saya akan
menjadi orang yang pertama kali mengingkari apa yang diucapkan Rasulullah saw
dengan jalan menumpahkan darah. Adapun jika saya keluar ke Makkah sesungguhnya
saya mendengar Rasulullah saw bersabda,' Jika ada seorang Quraisy yang mulhid
(ingkar kepada Allah SWT) maka kepadanya akan ditimpakan separuh siksaan
dunia'. Maka itu mungkin bagi saya. Sedangkan jika saya pergi ke Syam maka
ketahuilah bahwa saya tidak akan pernah meninggalkan tempat saya hijrah dan
tempat Rasulullah saw menetap sekarang.”[29]
Begitulah peristiwa terbunuhnya Usman yang mengawali bencana
perpecahan di kalangan umat Islam. As Syahrastani mengatakan bahwa ada beberapa
sebab utama yang menyebabkan perselisihan itu muncul yaitu pertama Usman
memberi ijin kepada al Hakam b Umayyah untuk kembali ke Madinah setelah diusir
oleh Rasulullah saw pada masa hidupnya. Dia sudah meminta ijin pada Abu Bakar
dan Umar untuk kembali namun tidak diijinkan. Umar bahkan menempatkannya lebih
jauh ke daerah Yaman.
Kedua adalah konfliknya dengan Abu Dzar yang berakhir dengan
pembuangan Abu Dzar ke daerah al Rabdzah. Penyebab berikutnya adalah pemberian
seperlima dari rampasan perang Afrika kepada Marwan b Hakam dan penyebab
lainnya adalah perlindungannya kepada Abdullah b Sa'ad b Abu Sarh yang sudah
dihalalkan darahnya oleh Rasulullah saw saat peristiwa penaklukan Makkah,
bahkan Usman mengangkat Abdullah b Sa'ad b Abu Sarh menjadi gubernur Mesir yang
kemudian menimbulkan protes yang kemudian menjadi awal peristiwa terbunuhnya
Usman[30].
Dalam analisisnya Watt (1973)[31]
menyatakan bahwa ada beberapa hal yang diduga menjadi sebab protes mereka yang
akhirnya menjadi penyebab terbunuhnya Usman. Diantaranya adalah pembagian
penguasaan tanah di kawasan Irak kepada beberapa orang tertentu bukan menjadi
kekayaan umat dan masuk ke dalam Baitul Mal[32].
Kemudian adanya pemberian jabatan penting kepada saudara-saudaranya Bani
Umayyah. Ketidakmampuan Usman menghukum pelanggaran yang tidak sesuai dengan
aturan al Qur'an seperti yang terjadi pada peristiwa mabuknya Walid b Uqba
ketika memimpin shalat Subuh[33].
Lebih jauh Watt menyatakan bahwa faktor-faktor yang bersifat
material diatas kurang dapat dijadikan semata-mata sebagai alasan terjadinya
peristiwa tersebut. Ada faktor lain yang ikut mendorong yaitu adanya rasa frustasi
yang diakibatkan adanya perubahan gaya hidup yang semula adalah orang-orang
nomadik yang bebas tanpa kepemimpinan tertentu menjadi harus menurut kepada
mesin besar birokrasi. Sebuah situasi perubahan besar-besaran di bidang
ekonomi, politik dan struktur sosial yang tidak dapat dikembalikan ke masa lalu
dan mendorong mereka ke dalam situasi yang belum sepenuhnya dapat mereka ikuti.
Peristiwa pembunuhan Usman ini hanyalah satu rangkaian dari peristiwa
berikutnya seperti perang Unta, perang saudara di Shiffin, pemberontakan kaum
Khawarij dan munculnya golongan Shiah[34].
Sebagai tambahan, Ayoub (2003) lebih menekankan bahwa kebijakan
Usman mengangkat saudaranya sebagai pejabat menimbulkan kembali semangat
kesukuan yang pada masa Nabi saw sangat ditentang. Ketidakpuasan rakyat
terhadap kebijakan Usman menggaungkan kembali semangat oposisi yang mendukung
Ali sehingga kedua hal ini menimbulkan dikotomi tajam antara pendukung Ali dan
pendukung Usman. Semangat permusuhan lama antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah[35]
yang sebelumnya terjadi pada masa pra-Islam dan masa Nabi saw dimana Nabi saw
berasal dari Bani Hasyim mendapat perlawanan dari Bani Umayyah hingga peristiwa
penaklukan Makkah.
Demikianlah peristiwa fitnah
pertama yang berakibat pada perpecahan umat Islam. Perpecahan yang semula
semata-mata bersifat politik tersebut pada perkembangan selanjutnya mendapat
sokongan ideologis sehingga masing-masing golongan membangun ideologi mereka
masing-masing yang mereka anggap paling sesuai. Perpecahan ini masih dapat kita
temui pada perkembangan umat hingga masa sekarang yang terkadang juga
melibatkan konflik berdarah antar sesama umat Islam. Dengan membaca sejarah
secara lebih jernih diharapkan umat Islam dapat lepas dari belenggu konflik
masa lalu untuk memulai kembali persaudaraan Islam demi kesejahteraan bersama
yang akhirnya mewujudkan umat Islam sebagai rahmatan lil 'alamin bukan
sebagai sumber konflik dan ketegangan di muka bumi ini. Amin.
Tinjauan
Masa Kini terhadap Fitnah
Pada zaman
sekarang sudah banyak orang yang saling tuduh menuduh dan saling mengadu domba
pada setiap masalah yang sedang terjadi. Hal seperti ini banyak terjadi
dikalangan masyarakat yang rasa kekeluargaannya sudah mulai pudar, selain itu
juga banyak terjadi di kalangan pemerintahan. Di kalangan pemerintahan, banyak
sekali dugaan yang belum tentu benar adanya mengenai masalah amanah dan tugas
yang diemban. Seperti tuduhan korupsi, tuduhan penggelapan uang dan lain-lain.
Jika di
masyarakat umum, fitnah yang terjadi kebanyakan disebabkan ke-iri hatian
seseorang terhadap orang lain. Contohnya
ketika salah seorang diantara tetangga ada yang membeli mobil baru, tetangga
yang lain menuduh yang bukan-bukan, karena nyatanya dia tak mampu menjadi
seperti tetangganya. Sehingga menyebabkan perpecahan terjadi diantara keduanya.
Solusi
Jadi, untuk
mengatasi hal yang sering terjadi tersebut, kita harus mempunyai sifat
transparansi agar orang lain tidak mudah curiga dengan kita. Selain itu, jangan
terlalu menghiraukan fitnah itu sampai ada bukti yang memang jelas adanya.
BAB
IV
PENUTUP
Kesimpulan
Fitnah
merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya. Karena dampak yang ditimbulkan
selalu negatif, tidak akan pernah positif. Luka yang digoreskan/ditusukkan oleh
fitnah lebih tajam daripada pedang. Kehancuran akibat fitnah lebih dahsyat
daripada bombardir senjata rudal. Fitnah dapat merusak tali silaturahim,
merusak persatuan dan kesatuan, merugikan/mencelakakan/menyengsarakan orang
lain, bahkan dapat menghancurkan Islam, mengotori perjuangan.
Jadi, Fitnah
dan adu domba merupakan bentuk kezholiman, yang ditegakkan atas tiga perkara
yaitu berpondasi pada kedustaan, kedengkian sebagai alasnya dan kemunafikan
sebagai atapnya. Orang yang suka memfitnah dan mengadu domba berjalan dengan
baju kesombongan, mengikuti kehendak hawa nafsu dan bujukan syetan. Otaknya
dikotori dengan prasangka buruk. Hatinya beku, sulit menerima kebenaran, merasa
dirinya paling benar dan paling berjasa sehingga merasa tidak enak dan cemburu
ketika orang lain mendapat kesuksesan. Kebahagiannya di atas penderitaan orang
lain. Kehidupannya terlena dengan tipu daya syetan. Aqidah dan idealismenya
dijual hanya untuk memperoleh kesenangan dunia. Ingatlah, Rasulullah SAW
bersabda, "Aku tidak khawatir kalian miskin, tetapi aku khawatir (kalian
mendapatkan) dunia (lalu) kalian bersaing dalam urusan dunia itu." (HR.
Ahmad)
Kita harus
waspada dan hati-hati terhadap fitnah dan adu domba, juga terhadap orang yang
suka memfitnah dan mengadu domba. Karena mereka tergolong orang yang munafik,
kufur ni'mat dan berpotensi menjadi pengkhianat.
[1]‘Aunul Ma’bud,
11/347.
[2]Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 15/44.
[3]Shahih Muslim, kitab Iman, bab ke65, hadits no. 231, dan lafazhnya
diriwayatkan oleh Imam Ahmad 5/386.
[4](al Musawi, A
Syarafuddin. 2001. “Dialog Sunnah-Syi'ah: Surat Menyurat Antara Rektor Al-Azhar
di Kairo Mesir dan Seorang Ulama Besar Syi'ah (terj: Muhammad al Baqir)”.
Mizan. Bandung hlm 377-386). (Jafri, S.H.M.1979. “The Origins and Early Development of Shi'a Islam”.
Longman and Librairie du Liban. Beirut hlm 27-57).
[5](Kamara, M Ibrahim (ed) dkk. 2001. “Biographies of
the Rightly-Guided Caliphs”. Dar al Manarah. Egypt hlm 132-135); perspektif lain
dikemukakan dalam (Jafri, S.H.M. Op cit hlm 63-66).
[6](Suud, Abu. 2003. “Islamologi: Sejarah, Ajaran,
dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia”. Rienika Cipta. Jakarta. hlm 57)
[7] Kamara, M Ibrahim (ed) dkk.op
cit hlm 219-258)
[8]Proses terpilihnya Usman mempunyai
berbagai versi yang berbeda yang akan dibahas lebih lanjut di dalam makalah
ini. Kejadian yang sama namun dapat diberi tafsiran yang berbeda berdasarkan
sudut pandang yang diambil oleh para ahli sejarah yang bersangkutan.
[9]Pengumpulan ini dapat dilihat
sebagai sebuah prestasi oleh mereka yang menyetujui kebijakan ini namun banyak
juga yang tidak menyetujui kebijakan penyeragaman qiraat ini, pembahasan lebih
lanjut akan dibahas di dalam bagian selanjutnya dari makalah ini.
[10](as Suyuthi, Imam. 2003. “Tarikh
Khulafa': Sejarah Para Penguasa Islam (terj: Samson Rahman)”. Pustaka al
Kautsar. Jakarta hlm 189)
[11]( Jafri, S.H.M. Op cit hlm
28)
[12]http://www.islamonline.com/cgi-bin/news_service/profile_story.asp?service_id=701
[13]ibid
[14]http://en.wikipedia.org/wiki/Uthman_ibn_al-Affan
[15](as Suyuthi, Imam. Op cit hlm
171).
[16]Kaum syi'ah meragukan mengenai
hal ini meskipun mayoritasnya berpendapat bahwa kedua istrinya adalah anak tiri
nabi saw karena beliau hanya mempunyai satu putri kandung yaitu Fatima (Ibid).
[17](as Suyuthi, Imam. Op cit hlm
174-175).
[18]as Suyuthi, Imam. Op cit hlm
174
[19]
(http://www.usc.edu/dept/MSA/politics/firstfourcaliphs.html#ali). (Kamara, M
Ibrahim (ed) dkk.op cit hlm 276-279) atau pada (http://www.islamonline.com/cgi-bin/news_service/profile_story.asp?service_id=701). (al Musawi, A
Syarafuddin. Op cit terutama pada dialog no.83 hingga dialog no 100 pada
hlm 377-444).
[20](Hamka. 1975. “Sejarah Umat
Islam”. Bulan Bintang. Jakarta hlm 46-51). (Kamara, M
Ibrahim (ed) dkk.op cit hlm 280-285) dan (as Suyuthi, Imam. Op
cit hlm177-178) .
[21]
Maksud dari perkataan ini adalah kalau Ali atau Usman yang terpilih mereka
berasal dari kabilah yang besar sehingga kabilah-kabilah kecil tidak akan dapat
mengangkat kepala lagi karena semakin besar kekuasaan kedua kabilah sehingga
akan bertambah rasa kesukuannya (ashabiyah), Abdur Rahman juga berasal
dari kabilah yang kecil sama seperti Abu Bakar dan Usman. (Hamka. Op cit
hlm 49-49)
[22]Sayed Ali Asgher Razwy.
“Restatment of the History of Islam and Muslims.” Ahlul Bayt Digital Islamic
Library Project. dengan alamat akses di
(http://al-islam.org/restatement/58.htm)
[23]Inilah yang dimaksud dengan
“tipu daya” karena Amr tahu bahwa Ali tidak akan bersedia mengikuti Abu Bakar
dan Umar (http://al-islam.org/restatement/58.htm)
[24]Pada tahun 27 H pasukan dibawah
pimpinan Muawiyyah menyerang daerah Cyprus dengan menyebrangi lautan. (as
Suyuthi, Imam. Op cit hlm 178)
[25](http://www.islamonline.com/cgi-bin/news_service/profile_story.asp?service_id=701), fasilitas yang
dibangun diantaranya adalah perluasan Masjidil Haram pada tahun 26 H dengan
membeli tanah-tanah penduduk yang tinggal disekitarnya oelh Khalifah Usman (as Suyuthi, Imam. Op cit hlm
178as Suyuthi, Imam. Op cit hlm 178)
[26](http://en.wikipedia.org/wiki/Uthman_ibn_al-Affan)
[27](Hamka. 1975. “Sejarah Umat
Islam”. Bulan Bintang. Jakarta hlm 57-60
[30] (as Syahrastani. 2004. “Al
Milal wa al Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Islam”. Mizan. Bandung hlm 50)
[31]Salah seorang orientalis ternama
yang meneliti masalah Islam dan kebudayaan Muslim (W Montgomery Watt. 1973.
“The Formative Period of Islamic Thought”. Edinburgh University Press.
Edinburgh hlm 9-12)
[32] Contohnya yang lain adalah
diberkannya bagian seperlima dari rampasan perang Afrika kepada Marwan bin
Hakam (as Syahrastani. Op cit hlm 50)
[33] (as Suyuthi, Imam. Op cit hlm
178).
[34] W Montgomery Watt. 1973. “The
Formative Period of Islamic Thought”. Edinburgh University Press. Edinburgh hlm
11
[35](Ayoub, Mahmoud M. 2003. “The
Crisis of Muslim History”. Oneworld Publications. Oxford hlm 64-66)
Casino in MD 2021 - DrMCD
BalasHapusThere are five types of casinos 대구광역 출장안마 in Maryland: casino, poker, blackjack, craps, and video 충청북도 출장마사지 poker. The 양산 출장안마 casinos listed at the top are those that 광주 출장안마 have 밀양 출장안마 been